BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membaca salah satu cara untuk mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi akan
berhasil bila bangsa kita mampu membaca dan menulis. Oleh karena itu
profesionalisasi kemampuan baca tulis berbahasa Indonesia perlu dioptimalkan
agar siswa lebih berwawasan dan memiliki banyak pengetahuan.
Pentingnya keterampilan membaca ini dikarenakan
sifatnya yang reseptif (menyerap informasi ilmu pengetahuan). Keterampilan
membaca pada dasarnya memiliki kesamaan dengan keterampilan menyimak yakni
sama-sama keterampilan reseptif. Namun, keterampilan membaca jauh lebih unggul
dibandingkan keterampilan menyimak. Hal ini terlihat pada informasi dan ilmu
pengetahuan yang pada umumnya selalu didokumentasikan dalam bentuk bacaan.
Membaca merupakan kegiatan menafsirkan bahwa
informasi-informasi yang diperoleh dari aktifitas membaca tersebut dapat
memperluas wawasan dan cakrawala berpikir bagi mereka yang melakukan kegiatan
membaca. Kegiatan membaca juga harus memiliki tehnik untuk mencapai kemampuan
membaca itu sendiri. Tehnik membaca kritis merupakan membaca yang efektif bagi
siswa. Hal ini dikarenakan membaca kritis merupakan membaca yang dilakukan
secara mendalam, bijaksana, penuh tenggang hati, evaluatif, analitis, dan bukan
hanya mencari kesalahan.
Apabila pembelajaran membaca kurang dipahami siswa
maka tidak dipungkiri nilai yang akan diperoleh siswa tidak sesuai dengan hasil
yang diharapkan. Fakta yang lebih jelas lagi dapat kita lihat pada hasil
belajar siswa pada pelajaran bahasa Indonesia khususnya pada aspek membaca yang
dikategorikan kurang memuaskan. Dalam DKN bidang studi Bahasa Indonesia pada
siswa Kelas X SMK Negeri I Padangsidimpuan semester II Tahun Pelajaran 2010/
2011 yang memperoleh nilai rata-rata 65 sedangkan hasil yang diharapkan adalah
70[1]
dimana nilai tersebut dikategorikan kriteria cukup.
Merujuk pada rendahnya nilai siswa dalam membaca
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kurangnya mengenali huruf, kesulitan
vocal, kurang memahami makna leksikal, kurang memahami makna gramatikal dalam
kalimat, kesulitan dalam menemukan ide pokok, situasi membaca yang kurang
menyenangkan, kurang termotivasinya siswa dalam membaca, kurang bermutunya
buku-buku bacaan, dan lain-lain.
Kurang mampunya siswa memahami makna gramatikal
merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan rendahnya kemampuan siswa
dalam membaca kritis. Dikatakan faktor dominan karena pada saat membaca banyak
kata yang terjadi karena proses gramatikalisasi yakni proses afikasasi, proses
reduplikasi, dan proses komposisi. Oleh karena itu, bagi siswa yang dapat
menguasai makna gramatikal dengan baik akan mudah melakukan kegiatan membaca
kritis dengan baik.
Perlu diketahui bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami
siswa pada saat membaca harus diatasi oleh guru dengan bijak, karena kesulitan
tersebut dapat mengakibatkan turunnya kualitas siswa dalam belajar, kurang
pahamnya siswa dalam melakukan kegiatan membaca serta kesulitan memahami makna
dalam bacaan. Guru juga harus berupaya untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang
bacaan yang dibacanya, memberikan pengenalan yang mendasar dan pemahaman yang
mendalam tentang makna serta memberikan pemahaman tentang membaca kritis dengan
baik.
Pentingnya peranan penguasaan makna gramatikal dalam
membaca kritis mendorong penulis melakukan penelitian terhadap masalah di atas,
dengan judul Hubungan Penguasaan Makna Gramatikal
dengan Kemampuan Siswa Membaca Kritis di Kelas X SMK Negeri I Padangsidimpuan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa membaca kritis. Secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
Faktor internal merupakan segala sesuatu
yang mempengaruhi pembaca yang datangnya dari dalam diri pembaca, seperti:
kurangnya siswa dalam mengenali huruf, kebiasaan membaca kata demi kata,
kesulitan dalam menggunakan vokal, kesulitan menganalisis strukstur kata, tidak
memahami makna leksikal dan gramatikal kata dalam kalimat, tidak mengenali ide
pokok dan penjelasan, serta kesulitan menarik inferensi dalam bacaan. Faktor
eksternal adalah segala sesuatu yang datang dari luar diri pembaca. Faktor ini
antara lain: suasana yang kurang mendukung, tidak bermutunya buku-buku bacaan,
kurangnya motivasi membaca dari orang-orang terdekat, kurang lengkapnya
buku-buku bacaan, dan lain-lain.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas
banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa membaca kritis. Maka penulis
perlu membuat batasan masalah dalam penelitian ini, mengingat karena keterbatasan
biaya, waktu, serta agar tidak terjadi kesimpang siuran terhadap masalah yang
diteliti sehingga tujuan yang ditetapkan terarah.
Dalam penelitian ini penulis hanya mengkaji
satu faktor saja, yaitu tentang penguasaan makna gramatikal dengan kemampuan
siswa membaca kritis. Penguasaan makna gramatikal membahas tentang makna kata
yang terjadi karena proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi,
sedangkan kemampuan siswa membaca kritis membahas tentang langkah-langkah yang
digunakan pada saat membaca yakni mengingat dan mengenali, menginterpretasi
makna tersirat, mengaplikasikan konsep-konsep dalam bacaan, menganalisis isi
bacaan, membuat sintesis dan menilai bacaan.
D.
Perumusan
Masalah
Sesuai dengan penjelasan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas,
maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
gambaran penguasaan makna gramatikal siswa Kelas X SMK Negeri 1 Padangsidimpuan?
2. Bagaimanakah
gambaran kemampuan membaca kritis siswa Kelas X SMK Negeri 1 Padangsidimpuan?
3. Apakah
ada hubungan yang signifikan antara penguasaan makna gramatikal dengan
kemampuan siswa membaca kritis Kelas X SMK Negeri 1 Padangsidimpuan Tahun
Pelajaran 2010/ 2011?
1. Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan antara lain:
1.
Untuk mengetahui penguasaan makna gramatikal siswa
Kelas X SMK Negeri 1 Padangsidimpuan Tahun Pelajaran 2010/ 2011.
2.
Untuk mengetahui kemampuan membaca kritis siswa Kelas X
SMK Negeri 1 Padangsidimpuan Tahun Pelajaran 2010/ 2011.
3.
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara penguasaan
makna gramatikal dengan kemampuan membaca kritis siswa Kelas X SMK Negeri 1
Padangsidimpuan Tahun Pelajaran 2010/ 2011.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian yang
telah dikemukakan, maka hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk:
a.
Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran
bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah serta pihak-pihak yang terkait
dalam bidang pendidikan bahwa penguasaan makna gramatikal sangat penting untuk
memperlancar proses pemahaman pembaca.
b.
Sebagai bahan masukan bagi guru didalam membimbing dan
mendorong siswa untuk membaca.
c.
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti
khususnya mengenai penguasaan makna gramatikal dalam pemahaman siswa membaca
kritis dan menambah khsanah keilmuan serta dapat menjadi referensi
perpustakaan.
BAB II
LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR,
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoretik
1. Hakekat Kemampuan Membaca
Kritis
Membaca merupakan satu dari empat keterampilan
berbahasa. Dalam komunikasi tulisan, lambang-lambang bunyi bahasa diubah
menjadi lambang-lambang tulisan atau huruf-huruf menurut alfabet latin. Membaca
juga merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang harus dibina dan
dikembangkan secara terus menerus. Dengan aktivitas membaca seseorang dapat
memperoleh berbagai informasi yang berguna bagi kehidupannya. Aktivitas membaca
berkaitan dengan pembaca dan bahan bacaan, sehingga dapat mencakup makna proses
membaca sebagai kegiatan mempersepsi simbol-simbol tulis. Membaca sebagai
aktivitas mengolah makna yang terkandung dalam bahan bacaan, kreativitas
membaca, sampai pada aktivitas membaca kritis.
Menurut Anderson dalam Aleka “Membaca merupakan suatu
proses untuk memahami sesuatu yang tersirat dalam yang tersurat, melihat
pikiran yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis.”[2]
Adapun menurut Finochiaro dan Bonomo dalam Ermanto mengatakan bahwa, “Membaca
merupakan memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung dalam bahan
tertulis dan harus mampu memahami pola-pola bahasa dari gambaran tertulisnya.”[3]
Sementara itu, H.G. Tarigan juga berpendapat bahwa:
“Membaca
merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang hendak disampaikan
oleh penulis melalui media kata-kata dan bahasa tulis yang menuntut agar
kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan
sekilas dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui dengan
tujuan pesan tersurat dan tersiratnya dapat dipahami.”[4]
Sejalan dengan itu, D.P. Tampubolon juga berpendapat bahwa:
“Membaca
pada hakikatnya adalah proses berpikir, dalam proses membaca terlihat aspek
berpikir seperti mengingat, memahami, membedakan, membandingkan, menemukan,
menganalisis, mengorganisasikan dan pada akhirnya menerapkan apa-apa yang
terkandung dalam bacaan. Untuk itulah dalam membaca diperlukan potensi yang
berupa kemampuan intelektual yang tinggi.”[5]
Goodman dalam Ermanto juga mengatakan
bahwa, “Membaca merupakan proses pengelolaan informasi grafonik, informasi
gramatik, dan informasi semantik.”[6]
Kegiatan menghubungkan lambang-lambang grafis dengan bunyi-bunyi bahasa disebut
pengelolaan informasi grafonik. Pengelolaan informasi yang berkenaan dengan
struktur gramatikal bahasa disebut pengelolaan informasi gramatik. Pengelolaan
informasi secara semantik adalah pengelolaan aspek makna dan simbol gramatik
dan grafonik. Carrol dalam Harras juga mempertegas bahwa, “Membaca merupakan
proses interaksi antara latar belakang pengalaman kejiwaan pembaca dan
informasi leksikal serta gramatikal yang terkandung dalam simbol-simbol grafis
dalam upaya memperoleh pesan penulis.”[7]
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa membaca merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi
dari bahan tertulis berupa teks atau wacana melalui suatu interaksi antara
pembaca dan penulis yang akan melahirkan pemahaman pembaca terhadap ide atau
gagasan penulis serta proses memahami pesan tertulis yang menggunakan bahasa
tertentu yang disampaikan oleh penulis kepada pembacanya.
Kegiatan membaca hendaknya mempunyai
tujuan karena seseorang yang membaca
dengan suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan orang yang
tidak mempunyai tujuan. Tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta
memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami makna bacaan.
Paul S. Anderson dalam D.P.
Tampubolon menyatakan tujuan membaca
secara rinci sebagai berikut ini.
“1. Membaca untuk memperoleh fakta atau
perincian-perincian (reading for details
and facts), yaitu membaca untuk mengetahui penemuan-penemuan yang telah
dilakukan tokoh, apa yang telah diperbuat oleh tokoh, apa yang terjadi pada
tokoh, dan lain-lain.
2.
Membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), yaitu membaca
untuk mengetahui masalah, apa yang dialami tokoh dan merangkum hal-hal yang
dilakukan tokoh untuk mencapai tujuannya.
3.
Membaca untuk mengetahui atau organisasi cerita (reading for sequen or organization),
yaitu membaca untuk mengetahui setiap bagian cerita.
4.
Membaca untuk menyimpulkan (reading for inference), yaitu membaca untuk mengetahui mengapa
tokoh berbuat demikian, apa yang dimaksud pengarang dengan cerita atau bacaan
itu, mengapa terjadi perubahan pada tokoh.
5.
Membaca untuk mengelompokkan (reading for classify) yaitu membaca untuk menemukan dan mengetahui
hal-hal yang tidak biasa, apa yang lucu dalam cerita atau bacaan, apakah cerita
itu benar atau tidak.
6.
Membaca untuk menilai (reading for evaluate), yaitu membaca untuk mengetahui apakah
berhasil, apakah baik kita berbuat seperti tokoh.
7.
Membaca untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading for compare or contest), yaitu
membaca mengetahui bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana hidup berbeda
dari kebiasaan hidup yang kita kenal, bagaimana dua buah cerita mempunyai
kesamaan.”[8]
Berdasarkan tujuan yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca merupakan hal yang harus
diperoleh siswa yakni menemukan fakta, ide utama, serta mampu mengorganisasikan
cerita sebelum menilai bacaan itu.
Pembaca yang baik tidak menikmati
begitu saja bacaannya, akan tetapi ia akan berusaha mengutip inti sarinya
dengan hemat sehingga tujuan membaca bisa dimiliki pembaca dengan baik. Adapun
Anderson dalam Tarigan menyatakan bahwa tujuan membaca adalah sebagai berikut
ini.
“ 1.Membaca untuk memperoleh perincian-perincian
atau fakta-fakta, yakni seorang pembaca berusaha menemukan atau mengetahui
penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh sang tokoh, apa-apa yang telah
dibuat sang tokoh, apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk
memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang khusus.
2. Membaca
untuk memperoleh ide-ide utama, yakni pembaca berusaha untuk mengetahui mengapa
hal tersebut menjadi topic yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam
cerita, apa-apa yang dipelajari atau dialami sang tokoh, dan merangkum hal-hal
yang dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai tujuannya.
3. Membaca
untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita yakni, pembaca berusaha
untuk menemukan dan mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang
terjadi mula-mula hingga akhir yang setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu
masalah, adegan-adegan dan kejadian.
4. Membaca
untuk menyimpulkan, membaca inferensi, yakni pembaca berusaha menemukan dan
mengetahui mengapa para tokoh diberikan karakter yang telah ditentukan dan apa
yang hendak diperlihatkan oleh sang pengarang kepada pembaca. Mengapa tokoh
berubah, dan mengapa kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat
mereka berhasila atau gagal.
5. Membaca
untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan, yakni pembaca harus
menemukan dan mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai
seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau
tidak benar.
6. Membaca untuk menilai dan mengevaluasi, yakni pembaca
berusaha menemukan apakah sang tokoh berhasila atau hidup dengan ukuran-ukuran
tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti seperti yang diperbuat oleh sang
tokoh, atau bekerja seperti sang tokoh bekerja dalam cerita itu.
7. Membaca
untuk memperbandingkan atau mempertentangkan, yakni, pembaca berusaha menemukan
bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita
mempunyai persamaan, bagaimana sang tokoh menyerupai pembaca. ”[9]
Berdasarkan tujuan membaca yang telah
dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan membaca merupakan hal-hal
yang harus dituju oleh pembaca untuk bisa memahami keseluruhan isi bacaan.
Membaca merupakan suatu keterampilan yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan
yang lebih kecil lainnya. Keterampilan dalam membaca diawali dari tingkat yang
lebih mudah dan hanya wajib untuk mengenali huruf, ejaan, bunyi, dan unsur
linguistik lainnya. Setelah pemabaca mampu menguasai keterampilan yang lebih
ringan, maka wajib bagi pemabaca untuk melakukan kegiatan membaca yang sifatnya
lebih memahami yakni memahami makna leksikal, memahami makna gramatikal,dan
membaca dengan mengikuti aturan-aturan yang baik dalam membaca. Ermanto
berpendapat:
“Secara garis besar terdapat dua aspek penting
dalam membaca yakni; pertama, keterampilan
yang bersifat mekanis yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih rendah,
dimana pembaca wajib mengenal huruf, unsur-unsur linguistik, hubungan pola
ejaan dan bunyi, dan kecepatan membaca bertaraf lambat. Kedua, katerampilan yang bersifat pemahaman yang dapat dianggap
berada pada urutan yang lebih tinggi dimana pembaca sudah harus memahami
pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), sudah memahami
signifikansi atau makna, dapat mengevaluasi, dan kecepatan membaca lebih
fleksibel dan disesuaikan dengan keadaan.”[10]
Berdasarkan
pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa membaca membutuhkan keterampilan
untuk memahami unsur-unsur linguistik, pola ejaan dan bunyi yang dilanjutkan dengan
pemahaman yang mendalam tentang penguasaan makna.
BELUM SELESAI
Membaca kritis dipandang sebagai salah satu jenis
membaca tersendiri. Pada beberapa tulisan yang mengulas tentang membaca,
pembahasan tentang membaca kritis mendapat bagian tersendiri pula. Membaca
kritis merupakan kegiatan membaca yang dilakukan dengan analisis yang akurat
yang bukan hanya menganalisis isi buku tetapi juga membahas maksud tersirat dan
tersurat dari si pengarang. Untuk memahami pengertian membaca kritis, dapat
dikemukakan pendapat para ahli yang bisa dijadikan acuan.
Menurut
Kisyani Laksono, “Membaca Kritis merupakan mengevaluasi materi tertulis, yakni
membandingkan gagasan yang tercakup dalam materi dengan standar yang diketahui
dan menarik kesimpulan tentang keakuratan, kesesuaian, dan garis waktu.”[11]
Pembaca kritis harus menjadi pembaca yang aktif, bertanya, meneliti fakta-fakta
dan menggantungkan penilaian atau keputusan sampai ia mempertimbangkan semua
materi. Sejalan dengan pendapat tersebut Prastiti juga mengatakan bahwa,
“Membaca kritis merupakan kemampuan untuk mengaplikasikan kriteria yang relevan
dalam mengevaluasi materi.”[12]
Ini merupakan penilaian tentang kejujuran, kebenaran, dan nilai apa yang dibaca
berdasarkan pada kriteria atau standar yang dikembangkan melalui pengalaman
terdahulu.
Leo dalam Prastiti juga mengemukakan
pendapatnya yang menekankan pada keaktifan berpikir pembaca ketika membaca. Ia
menyatakan bahwa, “Membaca kritis merupakan kegiatan membaca yang sifatnya
evaluatif dan interpetatif, yang memusatkan perhatian pada pertanyaan, mengapa dan bagaimana.”[13]
Pembaca kritis adalah pembaca yang berpikir, pembaca yang tajam perhatian.
Pembaca kritis pada umumnya mempunyai tujuan membaca yang jelas, tertarik
kepada apa yang mereka baca, untuk menjawab pertanyaanya sendiri.
A.Chaedar Alwasilah mengemukakan
pendapatnya bahwa, “Membaca kritis merupakan membaca dengan suatu kesadaran
tentang persamaan dan perbedaan antara apa yang telah diketahui oleh pembaca
dan apa yang dilihat di dalam teks ketika sedang membaca”[14]
Pada saat membaca, pembaca membandingkan pengalaman awal dengan unsur-unsur
dalam materi bacaan, seperti isi, gaya, ekspresi, informasi, ide-ide, pendapat
atau nilai-nilai dari pengarang serta melibatkan berpikir analitis untuk tujuan
evaluasi tentang yang dibaca.
Membaca kritis sebagai kegiatan
membaca yang dilakukan bukan hanya mengetahui dan memahami yang dikemukakan
penulis, melainkan sampai kepada pertanyaan mengapa hal itu dikemukakan, atau
mungkin sampai kepada pertanyaan bagaimanakah hal itu sampai terjadi, baik
latar belakang sebelumnya maupun akibat setelahnya. H.G. Tarigan juga
menjelaskan “Membaca kritis merupakan sejenis membaca yang dilakukan secara
bijaksana, penuh tenggang hati, mendalam, evaluatif, analitis, dan bukan hanya
mencari kesalahan.”[15]
Bijaksana adalah cermat dalam membaca wacana, mendalam adalah meresap,
terperinci, dan paham benar-benar dalam memahami wacana, evaluatif adalah
proses, cara, perbuatan yang berhubungan dengan penilaian terhadap wacana,
analitis adalah proses, cara, perbuatan untuk mencari kesimpulan terhadap
wacana. Kegiatan membaca kritis merupakan tindak lanjut dari membaca pemahaman.
Tanpa daya pemahaman yang baik kegiatan membaca kritis kurang berhasil. Pada
akhirnya, hal tersebut akan menjerumuskan pembaca pada spekulasi-spekulasi dan
evaluasi yang kurang bijaksana.
Nurhadi mendefenisikan bahwa,
“Kemampuan membaca kritis merupakan kemampuan pembaca mengolah bahasa bacaan
secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bahasa bacaan, baik makna
tersurat maupun makna tersiratnya, melalui tahap mengenal, memahami,
menganalisis, menyinestesis, dan menilai.”[16]
Membaca kritis mampu memperoleh pengertian yang lebih mudah untuk mengingat
materi bacaannya terlebih pembaca bisa menguasai makna gramatikal serta
mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri untuk mengemukakan pendapat
sebaik-baiknya. Pembaca akan dapat pula mencamkan lebih lama apa yang dibacanya
dan akan mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri yang lebih mantap daripada
membaca tanpa usaha berpikir secara kritis dalam membaca kritis.
Berdasarkan pendapat para ahli yang
telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa membaca kritis merupakan
keterampilan pembaca dalam memahami isi bacaan dengan mengolah bacaan secara
kritis, evaluatif dan analitis.
Pada hakikatnya, hanya pemikir
kritislah yang mampu membaca secara kritis. Berpikir kritis merupakan pola
pikir yang dilakukan dengan analisa yang mendalam dan sistematis. Pada saat
membaca kritis akan terjadi pola berpikir kritis yang diterapkan pada bacaan,
yang pada akhirnya akan mengembangkan kebiasaan berpikir kritis. David H.Russel
dalam buku Pramila Ahuja mendefenisikan bahwa, “Berpikir kritis merupakan sikap
senantiasa mempertanyakan segala sesuatunya dan menangguhkan penilaian,
penyelidikan logis, dan evaluasi dalam batas-batas suatu standar.”[17]
Syamsuddin dan Vis Maia juga
mengemukakan bahwa, “Seseorang yang memiliki sikap kritis akan merasa tidak
puas dengan jawaban tunggal dan akan selalu berusaha mencari hal-hal yang ada
dibelakang gejala, bahkan yang ada dibelakang fakta yang dihadapinya.”[18]
Sikap ingin tahu, menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar dan karena
motivasi itu, timbullah sikap kritis. Seseorang pemikir kritis tidak akan lekas
percaya karena memiliki sikap ingin tahu itu dan ingin mencari informasi
sebanyak mungkin sebelum menentukan pendapat untuk dikemukakan. Juga tidak
gegabah dalam mengucapkan atau menulis sesuatu pernyataan umum.
Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, dapat disimpulkan bahwa pembaca kritis merupakan pembaca yang cermat, dan
senantiasa mengumpulkan pertanyaan dengan metode analitis yang logis tanpa
tergesa-gesa menyimpulkannya.
Pembaca kritis yang memiliki pola pikir
kritis akan memiliki karakteristik yang kuat untuk menemukan kesimpulan yang
diinginkannya. Brookfield dalam buku A.Chaedar Alwasilah menyebut lima
karakteristik berpikir kritis, yakni:
“1. Berpikir kritis itu sebuah kegiatan produktif dan positif. Pemikir kritis adalah inovator yang percaya
diri dengan potensi yang dimilikinya untuk mengubah lingkungannya.
2. Berpikir
kritis adalah sebuah proses bukannya sebuah hasil. Pemikir kritis senantiasa
skeptis dan selalu tidak puas dengan hasil yang dicapai.
3. Manifestasi
berpikir kritis bervariasi sesuai konteksnya. Bagi beberapa orang
bukti-buktinya tidak nampak, kurang nampak, atau nampak sekali seperti dalam
karya tulis, lukisan, dan pembicaraannya.
4. Berpikir
Kritis dipicu oleh kejadian-kejadian positif atau negatif. Kebahagiaan,
kepuasan, jatuh cinta dapat membuat seseorang semakin kritis dan kreatif.
5. Berpikir
kritis bersifat emotif juga rasional. Sering disebut bahwa berpikir kreatif
adalah persoalan kognitif, namun pada kenyataannya banyak orang yang memiliki
firasat emotif untuk mengambil sebuah keputusan.”[19]
Dapat disimpulkan, orang yang
berpikir kritis dalam membaca kritis akan berusaha mencari materi-materi
relevan, mengevaluasi data, mengidentifikasi dalam perbandingan sumber-sumber
serta menggabungkan temuan-temuan.
Selain cara berpikir kritis, pembaca
kritis juga memiliki beberapa syarat dalam membaca. Kisyani Laksono memberikan
beberapa persyaratan pokok dalam membaca kritis, yakni: Pengetahuan tentang
bidang ilmu yang disajikan dalam bahan yang sedang dibaca. Sikap bertanya dan
sikap menilai yang tidak tergesa-gesa. Penerapan berbagai metode analisis yang
logis atau penelitian alamiah. Tindakan yang diambil berdasarkan analisis atau pemikiran
tersebut.”[20]
Sewaktu melakukan membaca kritis,
pembaca harus memiliki pengetahuan tentang bidang ilmu yang akan dibacanya. Hal
ini bertujuan agar pembaca dapat membandingkan gagasan yang dimiliki penulis
dengan apa yang diketahui pembaca. Pembaca juga harus mampu menganalisis dengan
hemat dan akurat bacaan yang dibacanya tanpa tergesa-gesa mengevaluasi apa yang
dibaca.
Pembaca yang dapat memenuhi
persyaratan yang telah dikemukakan di atas, maka akan mendapatkan beberapa
manfaat penting sebagai berikut:
“1. Pemahaman yang mendalam dan keterlibatan yang
padu sebagai hasil usaha
menganalisis sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan bacaan.
2. Kemampuan
mengingat yang lebih kuat sebagai hasil usaha untuk memahami berbagai hubungan
yang ada dalam bahan bacaan itu sendiri dan hubungan antara bahan itu dengan
bacaan lain atau dengan pengalaman membaca.
3. Kepercayaan
terhadap diri sendiri yang lebih mantap untuk memberikan penilaian secara
kritis sehingga dapat pula memberikan dukungan terhadap berbagai pendapat
tentang isi bacaan.”[21]
Sejalan dengan pendapat di atas,
Pramila Ahuja juga mengemukakan ciri-ciri pembaca kritis sebagai berikut:
1. “Dalam
membaca kritis membaca sepenuhnya melibatkan kemampuan berpikir kritis.
2. Hal-hal
yang disampaikan pengarang tidak diterima begitu saja.
3. Pembaca
kritis merupakan usaha mencari kebenaran yang hakiki.
4. Pembaca
kritis selalu terlibat dengan permasalahan mengenai gagasan dalam bacaan.
5. Pembaca
kritis adalah mengelola bahan bacaan, bukan mengingat (menghafal).
[1]
SMK Negeri 1 Padangsidimpuan, Daftar
Kumpulan Nilai, Tahun Ajaran 2010/ 2011, (Padangsidimpuan: SMK Negeri 1
Padangsidimpuan, 2010/ 2011)
[2]
Aleka, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 74
[3]
Ermanto, Keterampilan Membaca Cerdas, (Padang : UNP Press, 2008),
hal. 18
[4]
H.G. Tarigan, Membaca: Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa, (Bandung :
Angkasa, 2008) hal.7
[5]
D.P. Tampubolon, Kemampuan Membaca:
Tehnik Membaca Efektif danEfisien, (Bandung :
Angkasa, 2008), hal. 161
[6]
Ermanto, op.cit., hal. 19
[7]
Kholid Harras, Membaca I, ( Jakarta:
Universitas Terbuka, 2007), hal. 1.3
[8]
D.P. Tampubolon, op. cit., hal. I63
[9]
H.G. Tarigan, op.cit., hal. 10
[10]
Ermanto, op.cit,. hal. 20
[11]
Kisyani Laksono, Membaca 2, (Jakarta : Universitas
Terbuka, 2008) hal. 5.4
[12]
Prastiti, Meningkatkan Kemampuan Membaca
dengan Pembelajaran Membaca Kritis di Kelas Tinggi
SD , (Jakarta :
Universitas Terbuka, 2001) hal. 1.3
[13]
Ibid, hal 1.4
[14]
A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Menulis, (Bandung : PT. Kiblat Buku
Utama, 2008) hal.16
[15]
H.G. Tarigan, op.cit., hal. 89
[16]
Nurhadi, Bagaimanakah Meningkatkan
Kemampuan Membaca?, (Bandung :
penerbit Sinar Baru Algensindo, 2005) hal.59
[17]
Pramila Ahuja, Membaca Secara Efektif dan
Efisien, (Bandung :
PT Kiblat Buku Utama, 2010) hal. 166.
[18]
Syamsuddin dan Vis Maia, Metode
Penelitian Pendidikan Bahasa, (Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 12
[19]
A.Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan, (Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2010) hal. 158
[20]
Kisyani Laksono, op.cit. hal 5.5
[21]
Ibid, hal. 5.6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar